BONE, SAPARAKYAT–Pupuk bersubsidi yang dijual melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap regulasi yang ditetapkan pemerintah, yang bisa menyulitkan petani dalam proses produksi dan menyebabkan hasil pertanian tidak maksimal.
Pupuk bersubsidi dirancang untuk meringankan beban petani. Namun, di lapangan, masih ada kios yang menjual pupuk di atas HET. Ini tidak hanya merugikan petani, tetapi juga bertentangan dengan tujuan Presiden Prabowo Subianto untuk mendukung sektor pertanian dan program ketahanan pangan nasional.
Dugaan pelanggaran dalam penyaluran pupuk bersubsidi terjadi di Kecamatan Kajuara, Kabupaten Bone, Sulsel.
Setelah sebelumnya diberitakan bahwa pupuk bersubsidi diduga digandeng dengan pupuk non-subsidi seharga Rp15.000 per kantong kecil oleh kios UD Khairul Jaya milik Suradi, kini muncul klaim bahwa praktik tersebut telah disepakati dalam rapat bersama Tripika dan pihak BPP
Dalam pengakuannya kepada awak media dan tim LP-KPK, Suradi menyebut bahwa keputusan tersebut bukan sepihak.
” Saya kasih karena semua setuju waktu rapat di kantor BPP kalau saya kasi, ki non-subsidi, jadi saya kasi, mi dengan harga Rp15.000 per kantongnya,” ungkap Suradi.
Suradi juga mengaku, harga pupuk urea dan phonska dipatok Rp115.000 per zak, dan petani mengambil langsung ke kios tanpa unsur pemaksaan.
Dia menegaskan bahwa rapat tersebut dihadiri oleh Ketua BPP, Camat Kajuara, Danramil, Kapolsek, Ketua Gapoktan, dan Koordinator BPP Kecamatan.
” Mereka sepakat semua, penyaluran pupuk subsidi digandeng dengan non-subsidi,” tegas Suradi, bahkan mengaku siap mempertanggung jawabkan pengakuannya..
Pernyataan itu mendapat tanggapan keras dari Alfian T. Anugerah, SE, Ketua Umum LSM Merdeka sekaligus Ketua Aliansi LSM Bone (ALB).
Ia menyebut bahwa jika benar ada kesepakatan yang melibatkan unsur Tripika, maka ini sudah masuk kategori kekeliruan berjamaah yang bisa berkembang menjadi pelanggaran hukum secara kolektif.
” Tidak ada itu kesepakatan yang bisa menggugurkan aturan yang berlaku. Apalagi ini menyangkut regulasi ketat dan sanksinya cukup berat,” tegas Alfian, Kamis 05 Juni 2025.
Menurutnya, justru Tripika yang disebut dalam rapat tersebut harusnya menjadi pengawas, bukan bagian dari proses persetujuan.
” Tripika itu mesti jadi pengawas dalam perjalanan pupuk ini. Kalau benar yang dikatakan Suradi, maka mereka harus bertanggung jawab atas kekeliruan ini,” ujarnya.
Alfian menilai, praktik seperti ini tidak hanya menyimpang dari peraturan, tapi juga merugikan petani kecil secara sistematis. Ia mendesak agar semua pihak yang disebut hadir dalam rapat diperiksa secara resmi.
” Ini harus jadi pembelajaran di tempat lain. Jangan mi lagi ada yang spekulasi soal pupuk, apalagi sampai utak-atik harga HET. Itu sudah ranah pelanggaran,” tambahnya.
Alfian juga memberikan apresiasi kepada Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, yang menurutnya telah memastikan ketersediaan pupuk yang jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.
” Kita mestinya mengapresiasi kehadiran Puang Amran. Beliau sudah menghadirkan pupuk yang berlimpah, tidak seperti dulu yang selalu kurang,” ujar Alfian.
Namun, Ia menyayangkan justru kelimpahan pupuk ini tidak disambut baik oleh oknum tertentu, dan malah dijadikan kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi dengan cara-cara curang.
” Ini ironis, saat pupuk sudah tersedia, justru dimanfaatkan oleh oknum untuk meraup untung dengan praktik yang menabrak aturan. Apalagi kalau ini diamini oleh Tripika, sangat disayangkan,” lanjutnya.
Menurut Alfian, distributor juga tidak bisa lepas tangan, karena mereka memiliki tanggung jawab hukum dan administratif terhadap seluruh kios binaannya.
” Distributor wajib mengawasi dan menindak. Kalau mereka bungkam, berarti ada pembiaran atau bahkan kemungkinan keterlibatan,” ujar Alfian
Regulasi Jelas, Pelanggaran Tak Bisa Ditolerir Merujuk pada Permentan No. 10 Tahun 2022 Pasal 15 ayat (3):
” Distributor dan pengecer tidak diperbolehkan melakukan penjualan pupuk bersubsidi yang dipaketkan dengan barang lain.”
Dan Pasal 15 huruf (b) UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 menegaskan:
” Pelaku usaha dilarang memaksa atau memberikan syarat tertentu kepada konsumen untuk membeli suatu produk bersama produk lain yang tidak diinginkan.”
LSM Merdeka dan ALB mendesak agar Pemerintah Daerah dan instansi terkait, khususnya Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan, segera mengambil langkah tegas berupa evaluasi kinerja distributor dan sanksi pencabutan izin terhadap kios yang terbukti melanggar.
” Kalau betul ini kesepakatan yang menyalahi aturan, maka semuanya harus dimintai pertanggungjawaban. Kita bicara soal penyalahgunaan program nasional untuk petani kecil,” tutup Alfian.